Memandang dengan Islam


Memandang dengan Islam, menurut Prof.S.M.Naquib al-Attas artinya memandang tentang realita dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakikat wujud.[1] Tidak semua realita itu benar. Judi, riba, dan zina itu realita, tapi dalam Islam semua itu tidak benar . Jadi Islam memandang realita dan kebenaran. Hakikat wujud dijelaskan oleh Dr.Adian Husaini dalam kuliah Islamic Worldview di UIKA Bogor sebagai sesuatu yang bisa ditangkap oleh panca indera dan bukan pancaindera. Telinga kita bisa mendengar, ada suara. Lidah kita bisa mengecap,ada rasa. Hidung kita bisa menghidu,ada bau. Kulit kita bisa meraba,ada rangsangan. Mata kita bisa melihat, ada benda. Kemudian sesuatu yang ditangkap oleh bukan pancaindera itu juga wujud. Allah itu ada, malaikat itu ada, jin itu ada, surga itu ada, neraka itu ada, pahala itu ada, dosa itu ada dan lain sebagainya. 


Logikanya kalau ada cara pandang Islam berarti ada juga cara pandang bukan Islam seperti cara pandang Barat, Yahudi, Liberal, Sekular, Kristen, dan lain sebagainya. Semua cara pandang ketika punya fakta yang sama, tapi masing-masing punya cara pandang fakta yang berbeda maka hasil tafsir nya pun berbeda. Contohnya ada fakta bahwa Nabi Muhammad menikahi anak bernama Aisyah. Menurut cara pandang barat, dalam Human Right atau HAM, menikahi anak-anak itu melakukan pelecehan seksual. Menurut cara pandang sekular, dalam undang-undang perlindungan anak di negeri ini, tindakan menikahi anak-anak itu termasuk tindakan kriminal dan Nabi Muhammad bisa dipenjara seperti syekh Puji yang menikahi anak bernama Ulfa. Padahal menurut cara pandang Islam, pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah bukan pelecehan seksual dan tindakan kriminal.

Kita sebagai umat Islam tentu memandang Alqur’an itu wahyu dari Allah karena kita meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang menerima wahyu-Nya. Tapi orang Yahudi dan Nasrani pasti mengatakan Alqur’an ditulis oleh Nabi Muhammad bukan wahyu dari Allah karena mereka tidak percaya bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Anehnya, suatu ketika seorang profesor yang beragama Kristen, ahli di bidang sejarah filsafat Islam pernah mengatakan Nabi Muhammad menulis Al-qur’an. Hal ini didengar oleh Prof.S.M.Naquib al-Attas. Kemudian beliau ditanya oleh Prof.S.M.Naquib al-Attas, Apakah Anda punya bukti bahwa Nabi Muhammad menulis Al-qur’an? Ternyata beliau tidak punya bukti.

Prihatin dengan pengajaran pancasila yang menjadikan pancasila sebagai pandangan hidup. Padahal kita sebagai umat Islam wajib menjadikan Islam sebagai pandangan hidup karena pandangan hidup adalah wilayah agama. Bila pancasila jadi pandangan hidup, artinya pancasila mengalahkan agama. Kemudian lucu dengan sikap orde baru yang menjadikan pancasila sebagai pedoman amal. Padahal pedoman amal kita itu Al-qur’an dan Al-Hadits. Jika ada duri di jalan,kemudian kita singkirkan karena perintah sila ke-2 pancasila, maka kita tidak akan mendapat pahala. Berbeda ketika ada duri di jalan, kemudian kita singkirkan karena perintah Rasulullah, maka kita mendapat pahala. Suatu ketika ada perdebatan antara seorang profesor dari IKIP Malang sebagai perumus Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) dengan anggota DPR. Profesor ini ditanya oleh anggota DPR, kalau pancasila sebagai pedoman amal, bagaimana cara menggosok gigi menurut pancasila? Profesor ini tidak bisa menjawab. Sebab sekali lagi pancasila bukan pedoman amal. Pancasila itu gentlement agreement (perjanjian luhur) dan bagian dari konstitusi. Meskipun sebenarnya pancasila tidak bertentangan dengan Islam, malah diwarnai oleh cara pandang Islam karena banyak istilah kunci dalam Islam yang masuk ke dalam pancasila seperti Ketuhanan Yang Mahaesa yang berarti Allah SWT, kemudian istilah adil, adab, dan permusyawaratan yang berasal dari bahasa Arab. 

Manis tapi menipu pernyataan setan[2] yang singkat ini. Setan bilang kebenaran hanya Allah yang tahu, jadi seorang muslim tidak boleh merasa agamanya benar sendiri. Dalam Islam, kebenaran itu dari Allah dan Allah sudah turunkan kebenaran itu kepada kita melalui Nabi Muhammad. Artinya kita juga bisa mengetahui kebenaran. Kita bisa tahu cara shalat yang benar, syirik itu dosa besar,orang yang tidak beragama Islam itu kafir, membela diri ketika orang kafir melawan Islam itu diperintahkan, poligami itu dibolehkan, daging babi itu diharamkan, menutup aurat itu diwajibkan, agama Islam itu satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah[3], dan lain sebagainya. Kalau hanya Allah yang tahu kebenaran, apa yang dinyatakan setan tadi tidak benar karena setan sendiri bukan Allah. 

Ini tentang cara pandang kita wahai saudaraku seiman. Cara pandang lah yang memberikan landasan pemikiran kita. Bila kita memandang masalah dengan Islam, maka kita tidak akan menyalahkan Nabi Muhammad yang menikahi Aisyah, kita akan meyakini Al-qur’an adalah wahyu dari Allah, kita tidak ragu bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang terakhir, kita tidak akan menjadikan pancasila sebagai pandangan hidup dan pedoman amal, dan kita merasa benar bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah. 

Namun bila kita memandang masalah dengan bukan Islam, segala sesuatu yang halal bisa jadi haram, yang buruk bisa jadi baik, yang benar bisa jadi salah, yang jelas jadi buram, yang tetap bisa berubah semaunya, sehingga salah kaprah menjadi lumrah bahkan menjadi dalil atau hujjah. Na’udzubillah min dzalik (Kami berlindung kepada Allah dari demikian itu). 

Andi Ryansyah, Pegiat Pemikiran Islam

@andislam93

[1] S.M.N, al-Attas dalam Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of The Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, 2 
[2] Al An’am ayat 112 
[3] Ali ‘Imran ayat 19

Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.

editor : Muhammad Ihsan

Post ADS 1
Banner
Banner