Warisan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim

Penaaksi.com - 88 tahun bukan usia yang singkat, termasuk bagi sebuah organisasi besar seperti Nadhlatul Ulama (NU). NU telah menorehkan jejak yang mendalam bagi perkembangan Islam di tanah air. Warisan terbesar NU sesungguhnya adalah warisan pendidikan yang luar biasa bagi dunia Islam di tanah air. Mungkin ratusan ribu atau jutaan lulusannya telah dihasilkan di negeri ini. Pendidikan yang diwariskan para generasi awal NU telah menjadi mata rantai yang tetap menghubungkan generasi kita saat ini dengan para ulama-ulama terdahulu.

Ulama-ulama nusantara telah menancapkan prestasinya sebagai ulama yang tak dibatasi oleh sekat-sekat wilayah. Mereka telah menjadi bagian dari pusaran ilmu di dunia Islam. Mekkah sebagai pusat pendidikan Islam mengenal nama-nama seperti Al Raniri (wafat 1608), Syekh Yusuf Al Maqassari (1627-1699), Abdurrauf Al Sinkili (1615-1693) yang menuntut ilmu dengan guru-guru mereka di sana. Bangsa kita menjadi ikut dalam pusaran ilmu di tanah suci. Para penuntut ilmu dari Nusantara-melayu ini menuntut ilmu di tanah suci, kemudian membentuk lingkaran komunitas jawi (ashab al-jawiyun).  Mereka yang telah kembali dari tanah suci kemudian menyebarkan ilmu tersebut ke nusantara. Mengalirkan arus islamisasi ke segenap penjuru nusantara. Pelita ilmu yang mereka bawa bersatu dengan kekuasaan penguasa (sultan dan raja) di tanah air.[1]

Ketika situasi berubah, kolonialisme mulai mencengkeram kekuasaan para raja dan sultan, cahaya ilmu para ulama tidak lantas meredup. Mereka mulai membentuk wilayahnya sendiri. Lepas dari jeratan penguasa yang memilih menghamba pada para penjajah. Ulama menjauh dari pusat  kekuasaan. Para ulama menjadi obor untuk membimbing masyarakat dengan mendirikan pusat-pusat pendidikan keagamaan. Melalui pesantren, dayah dan surau-surau di nusantara, para ulama terus membimbing masyarakat dengan ilmu agama.[2]

Islam di nusantara tak putus hubungannya dengan umat diseluruh dunia. Ibadah haji menjadi pengikat umat Islam dan ulama di nusantara dengan pusat pendidikan Islam di Timur Tengah. Para ulama sadar, Haji bukan sekedar ibadah, namun juga kesempatan untuk menuntut ilmu (thalab al-ilm). Jaringan komunitas jawi di Timur Tengah khususnya Mekkah tetap mengalirkan ilmu agama ke nusantara. Bahkan ulama-ulama Jawi menjadi pengajar yang dihormati di Mekkah. Sebutlah Nawawi Al Bantani (1813-1897). Ia menjadi salah satu pusat transmisi Islam ke Hindia Belanda. Karya-karyanya melintas batas hingga ke nusantara. Kitab-kitabnya menjadi rujukan di pesantren. Nama lain adalah Mahfudz Termas (1868-1919). Ia banyak menghabiskan hidupnya belajar di mekkah. Baik Nawawi Al Bantani dan Mahfudz Termas menjadi peranan yang krusial bagi denyut pesantren di Jawa.[3] Dari tangan mereka lah lahir berderet ulama di Jawa, termasuk KH Hasyim Asy’ari.

Lahir dengan nama Muhammad Hasyim, 14 Februari 1871, KH Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang tak bisa dilepaskan dari pesantren.. Ayahnya, Kiyai Asy’ari mendidiknya langsung. Kemudian ia tumbuh menjadi anak yang sholeh dan cerdas. Menjadi penuntut ilmu yang tekun dan belajar dari berbagai ulama di Jawa, diantaranya, di Pesantren Sono, Sewulan (Sidoarjo), Langitan (Tuban), dan Bangkalan (Madura). Bahkan setelah ia menikah di usia 21 tahun, ia memboyong istrinya ke tanah suci untuk berhaji menuntut ilmu. Luasnya lautan tak mampu membendung hasrat KH Hasyim Asy’ari untuk menuntut ilmu.  Di sana ia diantaranya belajar kepada Syekh Nawawi Al Bantani, Sayyid Abbas Al Maliki Al Hasany (mengkaji ilmu hadits), Syekh Mahfudz Termas (mengkaji fiqih dan adab), bahkan ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, yang dikenal sebagai ulama para tokoh reformis Islam seperti KH Ahmad Dahlan, Haji Rasul dan Haji Agus Salim.[4]

Sang Kiyai kemudian meneruskan rangkaian warisan para ulama dengan mengajar di Tebuireng, Jombang. Berdiri pada 1899, awalnya di sana adalah daerah yang tidak aman. Penuh dengan tempat plesir,rampok dan penjual minuman keras. Hal itu tidak menyurutkan langkah beliau, baginya menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia.[5] Lambat laut Tebuireng menjadi pusat pendidikan islam yang disegani. Hadratussyaikh juga menjadi ulama yang disegani di tanah air. Ia sangat perhatian dengan pendidikan umat, karena itu ia banyak menulis kitab, diantaranya, , Ziyadatul Taliqat, Ar , Risalatu At Tauhidiyyah dan termasuk Adabul Alim Wa Al-Muta’alim sebuah kitab yang berisi adab antara pengajar (ulama) dan yang diajar. Baginya, para ulama adalah,

“…yang senantiasa mengamalkan ilmunya dengan landasan ketaqwaan kepada Allah, mengharap ridho-Nya, serta demi mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya.”[6]

Ia juga mengingatkan para ulama untuk tidak menggunakan ilmunya demi semata-mata mencari kesenangan-kesenangan duniawi, seperti mencari kedudukan, kekayaan, reputasi, pengaruh, jabatan dan lain sebagainya. Dalam melandaskan pendapatnya ini, ia mengutip hadist riwayat Imam Tirmidzi,[7]

“Barang siapa mencari ilmu pengetahuan demi menjatuhkan ulama (lain) dan berdebat dengan fuqaha (orang-orang ahli agama), atau demi mendapatkan pengaruh di mata manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”

Ia mengingatkan para alim (ulama) untuk senantiasa takut kepada murka/siksa Allah dalam setiap gerak, diam, perkataan dan perbuatan. Menurutnya,

“Hal ini sangat penting diperhatikan mengingat seorang alim pada hakekatnya adalah orang yang dipercaya dan diberi amanat oleh Allah berupa ilmu pengetahuan dan hikmah. Maka meninggalkannya berarti suatu pengkhianatan atas amanat yang telah dipercayakan kepadanya itu.”[8]

Seorang alim bagi KH Hasyim Asy’ari selalu dituntut untuk melakukan hal-hal yang terbaik dan berusaha mengerjakannya dengan sempurna.

 “Ini penting, mengingat seorang alim adalah figur yang dijadikan panutan dan rujukan oleh umatnya dalam masalah-masalah hukum (syariat). Ia adalah hujjatullah (juru bicara Allah) atas orang-orang awam yang setiap perkataan dan petunjuknya akan diperhatikan oleh mereka.”[9]

Perhatian besar KH Hasyim Asy’ari dalam lapangan pendidikan, selalu ia ingatkan baik bagi para pendidik maupun yang dididik untuk senantiasa mencari ridho Allah, mengamalkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan (melestarikan) syariat Islam.

Perjuangan Hadratusyaikh dalam mendidik umat diteruskan pula oleh anaknya KH Wahid Hasyim. Lahir 1 Juni 1914 di Jombang, Abdul Wahid Hasyim merupakan putra dari KH Hasyim Asy’ari dengan salah seorang istrinya, yaitu Nafiqah. Sejak kecil Wahid Hasyim sudah menjadi anak yang cerdas. Diajar oleh ayahnya sendiri, pada usia 7 tahun ia mengkaji kitab Fathul Qarib, Minhajul Qawim dan lainnya. Usia 13 tahun ia belajar di Pondok Siwalan Panji, Sidoarjo. Saat usia 15 tahun ia biasa membaca media massa seperti Penyebar Semangat, Daulat Rakyat dan Panji Pustaka. Ia bahkan sudah mempelajari bahasa Arab, Belanda dan Inggris. Pada tahun 1932, mengikuti jejak ayahnya, Wahid Hasyim belajar selama setahun di Mekkah. [10]

Sepulang dari Mekkah ia mulai aktif di Tebuireng. Angin perubahan zaman menghembuskan modernisasi yang begitu kuat, membuatnya melakukan perubahan di Pondok Pesantren Tebuireng untuk menjawab tantangan zaman. Ia mendirikan madrasah Nizamiyah yang memasukkan pelajaran agama dan pengetahuan umum. Bahkan memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan Inggris. Organisasi pelajar mulai dikenalkan. Terbentuklah Ikatan Pelajar-Pelajar islam (IKPI). IKPI kemudian menciptakan taman bacaan yang memuat koleksi beragam bacaan dari bermacam bahasa.

Kiprahnya dalam Nahdlatul Ulama, terlihat dengan aktifnya ia menulis, baik di Suara NU yang beraksara Arab pegon maupun Berita NU yang berhuruf latin. Ia kemudian menerbitkan Suluh NU yang dipimpinnya sendiri. Suluh NU yang bertujuan untuk membicarakan ‘perkara-perkara kemadrasahan’  memang bermuatan ide-ide baru untuk dunia pendidikan. Kesempatan ini terbuka luas berkat kedudukannya di bagian Ma’arif NU yang mengatur urusan pendidikan dan pengajaran dalam NU. [11]

Seperti ayahnya, KH Wahid Hasyim memang memiliki perhatian yang besar dalam urusan pendidikan terutama bagi umat Islam. Hembusan modernisme yang begitu hebat melanda umat Islam, membuatnya bergerak untuk menjawab tantangan-tangan yang ada. Ketika berpidato dalam penyerahan Perguruan Tinggi Agama Islam di Jogjakarta tahun 1951, Ia mengingatkan,

“Tiap-tiap muslim diajar oleh Al Quran berlaku tenang di dalam menghadapi lawan-lawannya dalam menguji argumen dan alasan serta dalil. Sampai pun yang sudah diliwati batas kesopanan, harus tetap dihadapi dengan tenang, agar tidak merusakkan persoalan. [12]

Dalam kesempatan yang sama ia juga mengingatkan hakekat pengetahuan dalam Islam, menurutnya Ilmu pengetahuan tidak dapat berdiri sendiri.

“Ilmu pengetahuan dan takwa dalam pandangan Islam tiada mungkin dijauhkan, dan harus sama-sama cukup lengkap. Bahkan Islam memandang lebih condong pada takwa daripada  kepada ilmu. Ilmu sebagai buah otak, haruslah diimbangi dengan takwa sebagai isi hati. “[13]

Baginya ilmu pengetahuan juga tidak boleh tunduk pada politik yang ditunggangi hawa nafsu.

“Pada ketika ummat Islam dulu menundukkan politik pada ilmu pengetahuan, disertai takwa, maka kemajuan kecerdasan otak diimbangi oleh suburnya perkembangan kemanusiaan. Akan tetapi syarat hidup kedua, takwa, mulai kendor. Dan mulai pula hawa nafsu mengalahkan ilmu pengetahuan, karena dorongan politik, ialah disebabkan keinginan mau menang yang bersarang pada hati beberapa orang pemuka. Untuk mencapai kemenangan itu, orang lalu menggunakan ilmu guna melaksanakan keinginan atau hawa nafsu.”[14]

Pada akhirnya, visi pendidikan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim adalah seirama. Mereka menginginkan pendidikan yang menghasilkan lulusan yang takut kepada Allah. Hal itu terlihat dalam pidato yang sama. KH Wahid Hasyim mengingatkan,

“Dalam hubungan ini, sudahlah pada tempatnya, apabila di sini dikemukakan harapan rakyat, agar supaya Perguruan Tinggi ini, dapatlah kelak menghasilkan cerdik pandai dan ulama yang mempunyai takwa, perasaan takut kepada Allah SWT dan dengan sendirinya menimbulkan tanggung jawab pada hadiratNya ; lebih besar daripada segala pertanggungjawaban lainnya…”[15]

Inilah tujuan dari pendidikan itu. Warisan yang mereka tinggalkan berupa pendidikan sambung menyambung dengan ulama-ulama kita terdahulu, tak lain untuk membuat kita semakin takut dan mendekat kepada Allah. Semoga kita mampu pula mengemban dan mewarisinya pada anak cucu kita nanti.

Oleh : Beggy Rizkiyansyah

Pegiat Jejak Islam Bangsa


[1] Burhanudin, Jajat (2012). Ulama & Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta : Mizan

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Asy’ari, KH. M. Hasyim (2007). Etika Pendidikan Islam, Petuah KH. M. Hasyim Asy’ari untuk para guru (kyai) dan murid (santri). Yogyakarta : Tiara Wacana

[5] Aboebakar, H (2011). Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim. Jakarta: Mizan.

[6] Asy’ari, KH. M. Hasyim, Etika.

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Ibid

[10] Aboebakar, H, Sejarah hidup.

[11] Ibid

[12] Hasyim, KH. A. Wahid (1985). Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri dalam Mengapa Memilih NU?Jakarta : Inti Sarana Aksara.

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Ibid
Post ADS 1
Banner
Banner