Tantangan Gerakan Perubahan Kekinian

Banyak kalangan risau, gelisah,kesal atas kondisi bangsa. Perilaku elit pemimpin di eksekutif, legislatif dan yudikatif dinilai memuakkan. Terjadi krisis kepercayaan yang luas antara lain karena kasus-kasus korupsi yang diketahui oleh masyarakat sampai lapis terbawah bukannya berkurang malah makin meluas di berbagai kalangan dan sektor. Bahkan akhir-akhir ini penetrasi asing melalui beragam kebijakan justru memperlihatkan kelemahan pemerintah dalam pertarungan global. Banyak yang geram. Karena mereka yakin Pemilu 2014 kemarin akan memunculkan harapan baru dengan terpilihnya pemimpin baru yang dianggap tak memiliki dosa masa lalu.

Tapi perjalanan pemerintahan 8 bulan terakhir tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ternyata pemilu tak jua memberikan harapan. Harga-harga kebutuhan dasar masyarakat kian mencekik. Istilah teman-teman aktivis, Pemilu sekadar mengubah monyet jadi kera. Maka berkumandanglah suara-suara ingin menggelorakan revolusi. Karena syarat-syarat obyektif sebuah perubahan dianggap telah lebih dari cukup. Tinggal syarat subyektifnya sahaja. Tetapi apakah semudah itu?

Situasi kekinian terutama sejak teknologi komunikasi dan informasi makin canggih telah banyak mengubah perilaku dan sikap masyarakat atas berbagai isu.Tidak mudah lagi menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi untuk sebuah gerakan perubahan, seperti yg dilakukan di era kejatuhan Soekarno, Soeharto hingga Gus Dur. Mengapa bisa demikian? Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, Sulit Fokus. Informasi yang mengalir deras menyerbu ruang publik melalui alat-alat komunikasi (TV, Radio, BBM, Facebook, Whatsapp dan lainnya) membuat para organisator perubahan sulit mengonsolidasi kekuatan. Sebagian besar asyik dengan “mainannya” sendiri. Apa yang dianggap penting oleh tokoh gerakan perubahan belum tentu penting dimata mayoritas masyarakat. Belum tuntas membahas sebuah isu, tiba-tiba sudah muncul isu baru. Saling tumpah tindih membentuk simulakra. Kedua, masyarakat jenuh dengan kegaduhan. Hal tersebut karena bertubi-tubi isu menyerbu ruang publik. Begitu banyak wacana menyeruak ke permukaan tapi miskin solusi, maka masyarakat menjadi apatis bahkan lebih jauh, apolitis. Masyarakat lelah dengan keributan yang terjadi sehingga banyak yang jadi kebal alias imun nurani dan batinnya atas fakta-fakta yang terjadi. Seburuk apapun fakta itu mungkin sejenak masyarakat akan mengelus dada tapi setelahnya akan terlupakan. Tak terpikir cara untuk menghadapi atau melawan keburukan dan kezaliman yang ada. Memang terjadi perlawanan sporadis tapi tidak mengubah keadaan secara substantif. Pada umumnya masyarakat makin permisif, individualis dan mencari jalan masing-masing. Ini adalah situasi yang diharapkan status quo.

Faktor ketiga yang menjadi kendala dalam gerakan perubahan adalah setiap orang menganggap dirinya tokoh. Teknologi informasi dan komunikasi modern membuat setiap orang merasa menjadi cepat cerdas. Tidak lagi tergantung pada seorang figur yang dulu diidolakan karena ilmu pengetahuannya. Sekarang orang bisa belajar sendiri, mencari informasi dan pengetahuan secara mandiri. Terjadi otonomi dalam dirinya sehingga tidak mudah untuk patuh begitu saja pada mereka yang disebut guru, tokoh, atau pemimpin. Meskipun sebenarnya pengetahuan, kemampuan dan attitudenya masih terbatas namun yang bersangkutan menganggap dirinya setara dengan figur dimaksud. Karena itu tidak mudah menjadi “pengikut” sebuah gerakan perubahan. Keempat, kaburnya nilai dan ideologi yang diperjuangkan. Dalam masyarakat yang makin liberal dan kapitalistik ini hampir semua nilai, norma dan ideologi diperdebatkan. Dampaknya hampir semua menjadi serbarelatif. Bangsa seolah berjalan tanpa tuntunan keyakinan dan ideologi. Bangsa berjalan menurut tafsir masing-masing. Bahkan dalam kasus Pancasila sebagai ideologi negara sekalipun. Pancasila dipandang kuno dan tak mampu bersaing sehingga perlu diganti dengan ideologi lain yang lebih “modern”.

Argumentasi berikutnya ialah tidak adanya tawaran solusi kongkrit yang disepakati bersama. Dalam menghadapi situasi yang penuh kebobrokan ini bukannya tak ada tawaran solusi. Secara umum ada yang meminta perbaikan sistem. Ada yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli, ada yang mau amandemen (lagi), ada yang menghendaki pergantian pemerintahan, bahkan ada yang mengusulkan revolusi. Tapi bagaimana caranya? Tak satu kelompokpun yang bisa menjabarkan apalagi bertransformasi pada ranah implementatif. Hal ini salah satunya karena tak ada kepemimpinan atau tokoh yang mampu diterima semua pihak. Pemimpin yang muncul dipandang publik “bermasalah” semua.Tidak menimbulkan trust yang luas. Saat tampil ke panggung politik nasional setidaknya Joko Widodo memiliki ini. Walau kemudian dalam perjalanannya publik merasa ‘diperdaya’.Keenam, media massa arus utama tidak pro kepentingan rakyat. Mencari media massa arus utama baik cetak, elektronik maupun daring yang sungguh-sungguh membela kepentingan rakyat tidaklah mudah. Apalagi ditengah penguasaan para kapitalis atau politikus atas media tersebut sehingga agak sulit membawa agenda perubahan secara substantif untuk disosialisasikan secara intensif dan masif.

Meredupnya peranan kampus sebagai agen perubahan menjadi faktor berikutnya yang tak kalah penting. Kampus-kampus utama sekarang telah menjadi elitis dan tak ubahnya dunia usaha. Rektor dan dosen sibuk dengan proyek-proyek yang tidak jelas hubungannya dengan perjuangan membela rakyat banyak. Mimpi tentang intelektual organik atau intelektual petarung makin suram. Terlalu panjang kisah sedih yang harus ditulis soal peranan kaum intelektual dewasa ini. Kedelapan, tumbuh suburnya budaya transaksional dalam hampir semua hal. Hanya sedikit tokoh baik dari generasi tua maupun muda yang tidak terlibat dalam budaya transaksional dalam memecahkan suatu masalah. Bahkan masalah ideologis dan strategis pun bisa ditransaksikan. Kelompokstatus quo pun tidak luput memanfaatkan cara-cara ini untuk melumpuhkan gerakan perubahan yang ada dan mencegahnya tumbuh berkembang.

Jika dipetakan secara sosial politik kondisi anak bangsa saat ini, maka dapat dikatakan kaum elitnya bisa dikatakan tak bebas dari dosa masa lalu. Mereka masih memiliki keterkaitan dengan masalah yang ada mulai BLBI, Century, kasus pajak, kecurangan pemilu, korupsi maupun kasus HAM. Akibatnya tak mampu bersikap tegas dan tidak dapat memihak pada kepentingan rakyat banyak. Antara elit yang satu dengan lainnya saling sandera dengan memanfaatkan dosa masa lalu tersebut. Kondisi tersebut akan membuat kaum elit resisten dengan perubahan. Satu-satunya faktor yang memungkin keadaan ini berbalik adalah jika terjadi ‘keretakan’ antar elit. Benih-benih perubahan akan tumbuh. Di lain pihak, kelas menengahnya sedikit di kuantitas, lemah secara kekuatan sosiao-politik, masih banyak yang terjebak pada aktivitas hedonistik. Bahkan kelas menengah ini adalah kelompok yang justru lebih banyak tergantung dan tidak mandiri dan banyak yang oportunistik. Dampaknya ialah seperti kerbau yang tak tahan dengan panas sehingga lekas mencari pohon rindang. Hanya segelintir yang mau berjuang serius untuk gerakan perubahan.

Sementara itu, rakyat di level akar rumput (grass root) justru terkena Stockholm Syndrome yakni pihak yang justru menjadi korban penyanderaan tapi ironisnya mencintai penyanderanya. Mereka ini sangat lentur atas berbagai penindasan, mudah putus harapan dan pasrah atau dalam kultur Jawa dikenal sebagai nrimo. Hanya segelintir yang sadar dan tercerahkan sehingga bisa diajak berjuang bersama dalam gerakan perubahan yang hendak diinisiasi.

Faktor terakhir adalah makin beratnya beban hidup. Kaum pergerakan yang idealis pada umumnya berada dalam kehidupan yang sulit. Orang-orang yang punya niat baik untuk bangsa ini rata-rata ekonominya kurang baik. Kondisi tersebut diperparah dengan kebijakan pemerintahan yang kian hari kian tak memihak kelompok ekonomi lemah ini. Dalam sistem masyarakat yang penuh mafia maka kaum yang berjuang untuk kebaikan lahannya makin sempit. Untuk berkumpul, konsolidasi dan sejenisnya sering menjadi beban tersendiri yang membuat para aktivis memilih hanya “ngoceh” melalui jejaring media sosial bahkan dengan identitas anonim. Saat diajak kopi darat untuk merumuskan konsep dan langkah taktis gerakan rata-rata bungkam atau sepi tanggapan.

Mendasarkan pada beberapa faktor tersebut, maka memang tidak mudah melakukan gerakan perubahan. Meskipun demikian bukan berarti tidak mungkin. Nothing is impossible. Perubahan adalah hukum sosial, hanya caranya berbeda dalam setiap zaman. Pembusukan terhadap rezim ini terus berlangsung, pasti akan sampai titik nadir dan itulah saatnya perubahan akan terjadi. Perubahan dengan “cara baru” seperti diisyaratkan oleh sejarawan Arnold Toynbe bahwasanya perubahan selalu dimulai oleh komunitas minoritas yang kreatif. Semoga.

M. HATTA TALIWANG

Anggota DPR RI Fraksi Reformasi 1999-2004

Penulis Buku Republik Di Ujung Tanduk
Post ADS 1
Banner
Banner