Untukmu yang Menolak Takluk
Saya mau kasih pengantar sedikit. Jadi ini adalah tulisan saya yang tertimbun di google drive sejak april 2013. Ketika saya cek ternyata tulisan ini belum pernah dipublikasikan di dunia digital, saya bingung juga tulisan ini sudah selesai atau belum.heheh.
Tulisan ini ceritanya tentang kritik saya terhadap beberapa mahasiswa yang menolak Ujian Nasional pada tahun 2013. Sekedar informasi saja pada tahun 2013 UN masih menjadi satu-satunya syarat lulus SMA, berbeda dengan saat ini yang telah di bagi porsi peran kelulusannya antara UN & UAS.
Jadi begini ceritanya, ada sekelompok mahasiswa penolak UN ketika di jalanan, di forum-forum, di diskusi-diskusi lesehan sesumbar menolak UN dengan pongah dan berapi-api, namun takluk dengan honor pengawas Ujian Nasional. Di satu sisi menolak, tapi doyan menerima honor dari pelaksanaan Ujian Nasional. Dagelan kan. Mau berjuang apa menjilat? :). ya intinya tulisan ini dulu upaya saya agar gerakan mahasiswa tetap istiqomah dan tidak menjadi olok-olokan orang. selamat membaca.
Untukmu yang Menolak Takluk
Sudah Menjadi Sunatullah jika setiap pejuang kebaikan pasti mendapatkan penentangan. bukan hanya para penentang , pasti ia juga akan mendapatkan banyak godaan. godaan yang akan mengkhianati apa yang telah ia perjuangan. godaan yang akan menjatuhkan ia jauh kedalam jurang dan tenggelam dalam arena pertarungan.
banyak mahasiswa saat ini yang menolak dilaksanakanya Ujian Nasional , tetapi justru terlibat dalam pelaksanaanya. mereka sibuk menjadi pengawas saat UN berlangsung. untuk apa ? apakah agar UN berlangsung dengan lancar dan aman ? atau hanya karena upah pengawas yang cukup menggiurkan ? alasan kedua tampaknya menjadi alasan utama mahasiswa turut serta dalam pelaksanaan Proyek Ujian Nasional. mereka justru menjadi para penikmat dana yang telah dikucurkan pemerintah dalam proyek UN tersebut. apakah ini mental seorang pejuang?
Ketika saya bertemu dengan pemuda yang menggadaikan idealismenya hanya untuk dunia yang sanggat hina. saya teringat artikel Buya Natsir pada 17 Agustus 1951. Artikel ini berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” saya rasa tulisan ini perlu untuk dibaca oleh para pemuda masa kini yang sedang berjuang melatih idealismenya.
Hari ini, kita memperingati hari ulang tahun negara kita. Tanggal 17 Agustus adalah hari yang kita hormati. Pada tanggal itulah, pada 6 tahun yang lalu, terjadi suatu peristiwa besar di tanah air kita. Suatu peristiwa yang mengubah keadaan seluruhnya bagi sejarah bangsa kita. Sebagai bangsa, pada saat itu, kita melepaskan diri dari suasana penjajahan berpindah ke suasana kemerdekaan...
Kini!
Telah 6 tahun masa berlalu. Telah hampir 2 tahun negara kita memiliki kedaulatan yang tak terganggu gugat. Musuh yang merupakan kolonialisme, sudah berlalu dari alam kita. Kedudukan bangsa kita telah merupakan kedudukan bangsa yang merdeka. Telah belajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Telah menjadi anggota keluarga bangsa-bangsa. Penarikan tentara Belanda, sudah selesai dari tanah air kita. Rasanya sudahlah boleh bangsa kita lebih bergembira dari masa-masa yang lalu. Dan memang begitulah semestinya!
Akan tetapi, apakah yang kita lihat sebenarnya?
Masyarakat, apabila dilihat wajah mukanya, tidaklah terlalu berseri-seri. Seolah-olah nikmat kemerdekaan yang telah dimilikinya ini, sedikit sekali faedahnya. Tidak seimbang tampaknya laba yang diperoleh dengan sambutan yang memperoleh!
Mendapat, seperti kehilangan!
Kebalikan dari saat permulaan revolusi. Bermacam keluhan terdengar waktu itu. Orang kecewa dan kehilangan pegangan. Perasaan tidak puas, perasaan jengkel, dan perasaan putus asa, menampakkan diri. Inilah yang tampak pada saat akhir-akhir ini, justru sesudah hampir 2 tahun mempunyai negara merdeka berdaulat.
Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau.
Mengapa keadaan berubah demikian?
Kita takkan dapat memberikan jawab atas pertanyaan itu dengan satu atau dua perkataan saja. Semuanya harus ditinjau kepada perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Yang dapat kita saksikan ialah beberapa anasir dalam masyarakat sekarang ini, di antaranya:
Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!... ”
”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkayuh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini... Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.”
Demikian pesan-pesan perjuangan M. Natsir, seperti dapat kita baca selengkapnya pada buku Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008).
Artikel ini memang sudah lama dituliskan oleh Buya Natsir. tetapi aritkel ini telah membuat penulis berpikir panjang. apakah benar pengorbanan telah hilang dalam diri kita? apakah kita kini menjadi hubbud - dunya ? bagaimana jika rasa rela berkorban ini hilang dari hati para pemuda yang katanya sedang memperjuangkan rakyat? apakah kita akan menggandaikan idealisme ini ketika kita baru saja memulai mendayung perahu ini?
"kalo gak ngawas UN kita mau dapat Uang dari mana" kalimat ini sering kali menjadi kata pemungkas dalam argumen mereka. apakah benar Rezeki Allah sesempit itu ? apakah ketika tidak ada UN Allah tidak akan memberikan Rezekinya kepada kita ? padahal kalimat ini adalah bukti bahwa kita sedang terkena penyakit hubbud - dunya. takut gak kebagian jatah, takut gak kebagian uang upah. takut kehilangan rezeki. mungkin saja ini adalah kalimat orang - orang yang "Takut Miskin" di jalan juang.
Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam, dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu, dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah.” (HR Hakim dan Tirmidzi).
Imam al-Ghazali dalam al-Arba’iin fii Ushuuliddin, menulis: ”Wa i’lam anna hubba ad-dunya ra’su kulli khathiiatin.” (Ingatlah, sesungguhnya cinta dunia itu adalah pangkal segala kejahatan). penyakit cinta dunia inilah yang telah membinasakan peradaban besar Andalusia yang kini punah.
Latih Keteguhanmu sejak dini
"Semakin tinggi pohon tumbuh , semakin kencang angin bertiup" analogi ini adalah gambaran bagaimana kondisi setiap tingkat perjuangan. semakin tinggi anda berjuang , godaan tentu akan semakin besar. hari ini tentu godaan yang kita hadapi hanyalah angin kecil sepoi - sepoi. jika angin yang kecil ini saja telah menidurkan kita , tentu kita pasti tak berdaya menghadapi angin yang jauh lebih besar.
Masa muda adalah masa yang tepat untuk melatih keteguhan kita dalam berjuang. suatu kesuksesan pasti tidak lahir begitu saja. semua harus dilatih. semua harus diperjuangkan. begitu juga keteguhan dalam memperjuangkan sesuatu. harus kita latih sedini mungkin. harus ada yang kita korbankan. harus ada yang kita perjuangkan. jangan takut miskin , jangan takut Allah membiarkan kita mati kelaparan. jangan menyerah , jangan menyerah saudaraku. jangan hinakan dirimu lebih jauh.