Aku Ingin Pulang (Mudik)!

Langit masih berdiri seperti biasa. Jakarta tetap konsisten memproduksi puluhan kubik asap menggumpal tebal di angkasa. Capung yang kian jarang hanya terbang malas sambil sesekali hinggap sejenak tak jelas. Aku masih termagun. Kutemukan diriku dalam keadaan kumuh dan tanpa baju. Berulang-ulang perutku bergamelan seperti klenengan tembang jawa kuno –lirih, hanyut, dan mengalir-. Pikiranku kosong mlompong seperti nominal uang di celana luntur dan berwarna hitam di bagian pantat. Batas antara waras dan gilaku hampir. Mungkin sebentar lagi aku tak bakal kenal siapa dan apa di sekitarku.

“Boy, kau tak bareng Ibay dan Imung?”

Teriakan itu lagi memanggilku. Aku masih membisu menatap gedung mewah di atas gunungan sampah.

Plak!

Lelaki setengah tua itu menggepuk kepalaku dengan lidi seikat, agak kencang.

“Hey, Tolol! Jangan berlagak kaya, cepat ke mushola Pak Haji Romlan!”

Aku bergeser beberapa centi. Kepalaku perlahan memar.

“Dasar, udah miskin bodoh!”

“Ada bagi-bagi sembako gratis. Cuma modal tampang memelas sama rela antri. Semua temanmu sudah kesana!”, sambungnya kembali. Aku masih menapak tilas pukulan tadi, kuelus pelan.

Dialah Bang Mamat. Usianya sudah lima puluhan tahun, tapi belum juga menikah. dia yang menampung manusia sampah macam kami. Produk gagal dari sisa ‘seleksi alam’ yang diciptakan kota ini. Meminjami duit, memberi keteduhan, dan mengasih keamanan saat bahaya. Meski perangainya kasar dan sangar, hatinya baik sebening mutiara. Tak seperti para pejabat yang penampilan parlente, hati busuk seperti bangkai kambing yang nyemplung got perumahan kumuh, bau dan memjijikan.

“Walau kami miskin, tak ada kata meminta, Bang!”, timpalku, membela diri. Mataku mimbik-mimbik menahan hamtaman barusan.

“Gua tahu prinsip utama lu itu, Geng. Tapi gua kasihan sama lu. Lu masih punya orang tua. Dia pasti seneng kalau anaknya yang udah tiga tahun nggak pulang sungkem di depan dengkulnya.”

Mata kami beradu. Dia menatapku tak seperti biasa. Tajam, namun penuh makna persahabatan.

“Di kamar belakang ada beras dua kresek. Satu kresek sekitar lima kilo. Lu jual buat bakal mudik. Kalau masih kurang, lu ambil aja di Pak Haji. Yah, buat lu beliin oleh-oleh orang desa sono. Maaf, gua cuma bisa bantu itu.”

“Saya nggak mau pulang, Bang!”

“Geng, gua idup sebatang kara dari kecil. Gua nggak tahu bentuk wajah bapak-emak gua sampe sekarang. Lu beruntung, jangan sia-sia keberuntungan itu!”, dia menepuk bahuku pelan. Badanku seketika terasa hangat, seperti ada energi dalam yang dia tularkan.

Dhek!

Jantungku berdesir tak keruan. Batinku terombang-ambing tak staknan. Seketika raut wajah tua penuh guratan melintang simbok dan bapak terbayang jelas di layar hitam pejaman. Mungkin makin hitam dan matang saja karena setiap hari harus dibasuh sinar jahat matahari siang keseringan.

Ikut mencuat enduk Endah Pregiwa. Kekasih tak sampaiku. Mungkin saat ini dia sudah lulus kuliah dan menikah dengan anak lurah desa yang kaya nan tampan. Sangat kontras dengan keadaan lecek kumalku waktu sekarang. Wajah ayunya tak berubah secuilpun di pejaman mata. Senyuman manis bak juruh –kuah hitam bubur, terbuat dari gula jawa- masih seperti dulu, begitu khas. Terkadang, cinta memang aneh. Belum tentu dia mengenaliku lagi, namun hati masih saja sulit memungkiri.

Bang Mamat menyodorkan dua kupon berwarna merah jambu tanpa kata. Aku tahu isarat itu. Bergegas kusambut dengan senyum mengembang di kedua sisi. Dia pun tertawa kecil tanda berhasil. Kumembelakanginya, dan berlari sekencang mungkin mengejar takdir dua kresek beras beralih milik di genggamanku.

Aku Ingin Pulang! Segera!

Bisikan nurani itu senantiasa bergelantung disetiap langkah kakiku yang berkejaran.

*****

“HARAP SEMUA MENEPI!”

Intruksi aparat keamanan yang mendorong kami. Bukan makin tertib, kumpulan orang susah macam kami malah semakin buas untuk ke depan.

“ANTRI! ANTRI!”, teriaknya lagi.

Kuping seluruh orang kumuh seakan tuli. Beginilah jika urusan usus. Semua logika kami seakan buntu. Aku makin terdesak, hendak nafas saja sepertinya oksigen sudah diisap duluan oleh tumpukan orang kanan-kiriku, tapi apa mau dikata. Hendak maju tak bisa, mundur malah makin sulit. Tinggallah aku sempoyongan seperti pemuda desa yang baru kali pertama mabuk kembang kecubung.

Perut puasa tanpa sahur, ditambah bau keringat peluh jarang mandi, dikuadratkan debu yang berserakan cukup membuatku tanpa sadar. Sepertinya ada orang yang menarikku dari atas, lalu dibopong dan dilempar begitu saja seperti peternak membuang ayam mati di kubangan ayam tiren lainnya.

Bau amis darah dan nanah kian terasa. Puluhan orang di sekitarku pun berbaring tanpa gerak kian membludak. Bayangan simbok kian kuat. Kini beliau melambaikan tangan tanda kekangenan yang bersangat ditambah air mata yang mengembun di kelopak matanya yang kian menggumpal berat hendak jatuh. Aku melambaikan tangan juga. Kurasakan tangan kasarnya menempel setengah dari tanganku. Kepalaku makin berat, begitu juga tangan ini. Selebihnya, aku mati rasa dan segalanya serba gelap!



Arif Setiyanto

Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner