Siapa Salah(kan) Indonesia

Ialah kebiasaan masyarakat Indonesia, yakni gemar membicarakan kejadian hangat di suatu masa kemudian mengabaikannya begitu saja bila sudah letih dan bosan. Masyarakat begitu senang menyoroti tindak-tanduk pemerintah, lalu melontarkan kritikan pedas pada pemimpin negara, ramai-ramai melakukan tindakan demonstrasi yang makin hari kedemokrasiannya terkikis dan bergeser menjadi anarkis. Inilah cerminan betapa moral bukan suatu hal yang sakral keberadaannya. Ini juga merupakan gambaran nyata betapa pancasila mulai kehilangan tahtanya. Siapa yang salah?


Lalu mari tengok pejabat-pejabat pemerintahan yang tutup mata tutup telinga menanggapi sekelumit persoalan yang dari tahun ke tahun sebenarnya sama. Wakil rakyat mulai ogah-ogahan mewakili rakyat, entah karena letih masalahnya tak kunjung usai, entah karena memang tidak peduli. Mereka lebih memilih mengukur kemiringan gedung kerja mereka lalu berusaha memperbaikinya daripada mengurus gelandangan dan anak jalanan yang kian bertambah. Lagi-lagi, siapa yang salah?

Salah satu permasalahan dari sekian banyak yang ada ialah kesejahteraan yang sangat tidak merata. Si kaya makin hari makin kaya dan si miskin makin lama makin miskin. Ironisnya, justru keberadaan si miskin yang menjamur di negeri ini seakan tidak tampak dalam kacamata pemerintah. Kemudian berawal dari kemiskinan, kriminalitas terus bergerak menuju klimaks. Dari mulai pencurian harta, pencurian harga diri, hingga pencurian nyawa terus menerus menjadi headline news surat kabar. Jumlahnya begitu banyak, tapi hanya sedikit yang dilirik pemerintah.

Lupakan sejenak Gayus Tambunan, Ahmadiah, Ormas Anarkis hingga prakara sepak bola Indonesia. Mari menelaah akar dari kemiskinan Indonesia yang katanya MenkoKesra sudah menurun sebanyak 13,3 persen di tahun 2010 lalu. Ialah kualitas pendidikan yang masih saja memprihatinkan. Kondisi pendidikan negara ini jelas memberi pegaruh besar bagi maraknya permasalahan yang timbul belakangan tahun terakhir.

Pertama, diperkirakan 4,79 persen atau sekitar 8,3 juta penduduk masih terjebak buta aksara, dengan perbandingan wilayah kota dan desa 1:4. Jumlah yang tidak sedikit dan cukup memalukan. Di era globalisasi dimana kebutuhan akan informasi dan pengetahuan sudah setara dengan kebutuhan pangan, persentase sebesar itu merupakan aib negara. Masyarakat buta aksara tentu tidak sempat berebut informasi karena sumber dari segala informasi adalah aksara. Jadi bisa dibayangkan betapa gelapnya dunia di mata buta aksara. Kembali, salah siapa?

Kedua, diperkirakan pula 1,5 juta remaja Indonesia putus sekolah yang berarti ada empat orang remaja yang putus sekolah tiap menitnya. Terlalu tingginya biaya pendidikan di Indonesia menutup kesempatan mereka mengenyam bangku sekolah. Kemudian mereka lebih memilih atau lebih tepatnya terpaksa memilih untuk turun ke jalan mencari nafkah. Dikutip dari Harian Kompas edisi 16 November 2010, Mensos menyebutkan jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia sebanyak 230.000 anak. Meski jumlah ini sudah mengalami penurunan sebesar 2,2 persen dari tahun sebelumnya, namun angka ini tetap saja mengenaskan. Padahal remaja adalah ujung tombak masa depan suatu bangsa. Tanggung jawab siapa?


Dua hal mendasar ini menjadi akar dari beberapa masalah-masalah yang marak terjadi belakangan. Dari permasalahan pertama, buta aksara menutup semua pintu masuk informasi sehingga masyarakat buta aksara hanya diam di tempat dan tidak berkembang. Kemudian timbul rasa tidak percaya diri dalam kehidupan sosial dan berlanjut menutup diri dari dunia luar. Hal ini menanamkan sikap acuh terhadap apapun yang terjadi.

Akibat dari permasalahan kedua, banyaknya pengamen ataupun pengemis dengan usia di bawah umur menjadi cerminan betapa eksploitasi anak masih menjamur di ibu pertiwi. Berawal dari para pekerja usia dini munculah pelaku tindak kriminal dibawah umur.

Korupsi kolusi dan nepotisme juga merupakan bentuk kegagalan proses pendidikan Indonesia. Tindak suap menyuap demi keamanan beberapa pihak juga menandakan betapa uang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan moral. Padahal pendidikan moral sudah diberikan di jenjang sekolah dasar. Ternyata hasilnya adalah nol besar.

Bila pemerintah benar-benar peduli dengan kelangsungan bangsa ini maka sudah seyogyanya menjadikan pendidikan sebagai prioritas perjuangan. Tidak perlu ramai-ramai menggodok sekolah bertaraf internasional tapi cukuplah memperbaiki ribuan gedung sekolah yang tidak layak pakai di daerah-daerah terpencil. Kualitas guru-guru Indonesia juga sudah waktunya ditingkatkan. Rakyat memerlukan guru yang tidak hanya sanggup mengajar tetapi juga mahir mendidik.

Masyarakat juga sebaiknya jangan hanya mengkritisi tetapi juga memberi solusi. Rumah baca, rumah singgah, hingga yayasan sekolah gratis bisa menjadi alternatif. Mahasiswa-mahasisiwi juga sudah waktunya melek kondisi. Bila pemerintah sepertinya sudah “banyak urusan” maka mahasiswa semestinya bergerak tanpa komando. Sebab siapa lagi yang peduli?

Sebaik-baik ilmu adalah yang diamalkan – anonim.


:astig:
Post ADS 1
Banner
Banner