Kekuasaan, Profesionalisme dan Kebijakan Pendidikan

Kasus Kurikulum 2013

Oleh: Prof. H.A.R. Tilaar | Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta; Anggota Penasehat PB-PGRI; Anggota Penasehat Paguyuban Pendidikan Taman Siswa; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Disampaikan dalam acara diskusi terbuka “Mempertanyakan Hakikat Pendidikan STEAM [Science, Technology, Engineering, Art, Mathematics] dalam Kurikulum 2013 untuk Merekacipta Masa Depan Bangsa” yang diadakan oleh Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Rabu 13 Maret 2013, di Balai Pertemuan Ilmiah – ITB, Bandung.

PENGANTAR

Dialog mengenai pergantian kurikulum dewasa ini dari Kurikulum KTSP menjadi Kurikulum 2013 menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai profesionalisme guru. Perubahan kurikulum sejak Indonesia merdeka yang ke-11 kali mengikuti pola yang sama yaitu mengalir dari atas ke bawah.[1] Dari konsep mengalir ke bawah dan harus dilaksanakan di sekolah oleh para guru. Perubahan tersebut ternyata bertentangan dengan hakikat ilmu pendidikan yaitu suatu ilmu yang teoretiko praktis. Artinya pendidikan merupakan suatu proses[2] yang diimplementasikan ke lapangan atau ke ruang kelas dan dari proses tersebut itu akan memberikan input kepada perubahan konsep. Oleh sebab itu kegagal-an suatu konsep kurikulum terletak kepada implementasi guru di lapangan. Tidak mengherankan apabila berbagai kegagalan di dalam penyempurnaan kurikulum dipersalahkan atau terletak pada tanggung jawab para guru. Suksesnya Kurikulum 2013 akan terletak pada para guru dan bukan kepada siapapun juga.

I. KEKUASAAN DAN PROFESIONALISME DALAM ABAD-21

Abad ke-21 ditandai oleh abad ilmu pengetahuan, knowledge-based society. Hal ini berarti perubahan-perubahan yang besar di dalam kehidupan manusia abad ke-21 didasarkan kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian masyarakat bukan hanya diarahkan dan dibimbing oleh kekuasaan tetapi oleh profesionalisme. Masyarakat yang dipimpin oleh profesionalisme adalah pembangunan masyarakat yang didasarkan kemajuan ilmu dan teknologi. Perkem-bangan masyarakat ditentukan oleh tingkat profesionalisme dari para pemimpinnya. Dalam berbagai aspek kehidupan manusia, kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan dipimpin oleh para profesio-nal. Berbeda dengan era sebelumnya kehidupan masyarakat dipimpin oleh kekuasaan seperti kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, kekuasaan teokratis dan sebagainya.[3] Dapat digambarkan bagaimana antara lain pendidikan yang dipimpin oleh kekuasaan seperti di dalam era Nazisme Jerman atau Facisme Italia-Jepang dalam masa Perang Dunia II. Profesionalisme hanya dapat hidup dalam suatu masyarakat demokratis dan bukan dalam masyarakat kekuasaan.[4] Di dalam bidang hukum, masyarakat di bawah pemimpin para profesional dalam bidang hukum, dalam bidang kesehatan oleh para profesional kesehatan, dan di dalam bidang pendidikan di bawah pemimpin para profesional yang menguasai bidang pendidikan. Dapat dibayangkan bagaimana misalnya dalam bidang kesehatan dikuasai oleh para profesional dalam bidang pendidikan. Dan sebaliknya pula dalam bidang pendidikan dikuasai oleh para profesional di dalam bidang pertanian atau industri. Yang diperlukan adalah kerjasama antar-profesional yang menguasai bidangnya sendiri sehingga terjadi sinergi yang efektif dan produktif.

II. PROFESIONALISME PENDIDIKAN

Dalam era globalisasi abad ke-21 dewasa ini pendidikan haruslah dipimpin dan dibina oleh para profesional. Siapakah para profesional dalam bidang pendidikan? Dasar dari suatu profesi modern adalah ilmu yang mendasarinya serta praktek di dalam implementasinya.

lmu Pendidikan sebagai Dasar Profesi Pendidikan

Apakah ilmu pendidikan itu? Semula ilmu pendidikan berasal dari filsafat serta kemudian merupakan bagian dari ilmu psikologi. Sejak permulaan abad ke-20 mulai lahir ilmu pendidikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri karena dianggap mempunyai obyek dan metodologi yang spesifik. Obyek ilmu pendidikan adalah subyek peserta-didik yang ber-beda dengan obyek ilmu-ilmu yang lain. Peserta-didik adalah makhluk hidup yang bertanggung jawab yang khas yang memiliki kepribadian sendiri yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan. Dalam pengembangan peserta-didik sebagai pribadi terdapat banyak konsep yang telah dikembangkan. Konsep-konsep tersebut harus diimplemen-tasikan di dalam proses pendidikan. Proses pendidikan tidaklah sama dengan proses produksi di dalam industri. Proses pendidikan merupa-kan suatu dialog antara pendidik dan peserta-didik.[5] Dari proses pen-didikan inilah dapat dituai efek-efek yang bermakna untuk penyempur-naan konsep. Inilah yang disebut hakikat ilmu pendidikan sebagai ilmu teoretiko-praktis.[6] Dengan demikian ilmu pendidikan bukanlah suatu ilmu yang abstrak tetapi suatu ilmu yang kongkret dan berkenaan dengan subyek yang semakin berdiri sendiri.

Berdasarkan pada hakikat ilmu pendidikan sebagai ilmu teoretiko praktis, maka peranan guru sebagai pelaksana proses pendidikan sangat menentukan di dalam keberhasilan serta penyempurnaan suatu konsep pendidikan.

Arti Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

Proses pendidikan mengimplikasikan adanya praksis pendidikan dan evaluasi. Berdasarkan hasil evaluasi inilah dapat dilaksanakan bukan hanya dalam implementasi tetapi juga di dalam konsep oleh guru. Di dalam kaitan inilah terletak pentingnya penelitian pendidikan.

Penelitian dan evaluasi pendidikan bukan hanya akan mening-katkan mutu dari praksis pendidikan juga akan merupakan sumbangan bagi perkem-bangan ilmu pendidikan. Evaluasi pendidikan yang dilak-sanakan di Indonesia dewasa ini berupa Ujian Nasional merupakan evaluasi sesaat dan bukan merupakan evaluasi longitudinal. Proses pendidikan mengasumsikan suatu periode yang panjang, meliputi periode untuk sekolah dasar, pendidikan menengah dan seterusnya bahkan sepanjang hayat. Di dalam periode inilah dibutuhkan penelitian dan evaluasi pendidikan untuk lebih meningkatkan kualitas proses pendidikan itu.

III. PENGERTIAN DASAR TENTANG KURIKULUM

Etimologis

Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata currere yang berarti arena pacuan.[7] Dalam gambaran tersebut tentunya adanya kuda, joki, dan jarak yang akan ditempuh. Secara etimologis kurikulum berarti sarana pacuan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam dunia modern kurikulum berarti sebagai serangkaian program (mata pelajaran) untuk mencapai tujuan pendidikan. Apa yang sering dilupakan di dalam diskusi kurikulum ialah kurikulum bukan semata-mata hanya berkenaan dengan lapangan pacu dan jarak tetapi juga yang tidak murang pentingnya adalah kuda dan jokinya (pendidik dan peserta-didik).

Kurikulum tidak Statis tapi Dinamis

Dalam dunia modern dewasa ini kurikulum dalam kegiatan atau proses pendidikan berubah secara dinamis, terarah, dan memenuhi tuntutan perubahan kehidupan modern. Dalam rangka UUD 1945 kurikulum dapat diartikan sebagai rancangan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Karena kehidupan berbangsa Indonesia dalam keadaan dinamis maka kurikulum harus disesuaikan dengan tuntutan kehidupan yang dinamis itu pula. Tuntutan tersebut bukan hanya diminta oleh negara maju tetapi juga bagi negara-negara yang sedang berkembang untuk mengejar ketertinggalannya. Apabila negara maju menetapkan tujuan perlombaannya pada jarak 400 meter maka di negara berkembang haruslah menetapkan pencapaian tujuan perlombaannya lebih cepat dari negara-negara industri maju. Dengan kata lain masalah kurikulum dalam negara-negara berkembang seperti Indonesia meminta perhatian yang serius yang relatif lebih kompleks dari negara-negara maju tetapi juga harus berhati-hati karena sumber daya dan sumber dana negara-negara berkembang masih terbatas.

Kurikulum dalam Menghadapi Perubahan


[Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu Teoretiko-Praktis]

Pendidikan berbeda dengan industri. Pendidikan berhadapan dengan manusia dalam upaya lebih meningkatkan taraf hidupnya atau kesejahteraaannya dan kecerdasannya. Hal ini berbeda dengan industri yang memproduksikan hasil industri atau produk industri yang semakin lama semakin berkualitas. Pendidikan bertujuan menghasilkan peserta-didik yang berkualitas dalam arti lebih merdeka, lebih bertanggung jawab, lebih bermoral. Inilah yang disebut proses pemanusiaan dalam proses pendidikan. Dalam proses pemanusiaan tersebut obyeknya adalah subyek yang unik dan bertanggung jawab yang pada akhirnya menjadi manusia yang berdiri sendiri. Manusia yang berdiri sendiri tersebut adalah manusia yang dapat menata kehidupannya sendiri bersama-sama dengan kelompoknya dalam dunia yang terus-menerus berubah. Inilah konsep teoritis dari proses pendidikan, pendidikan sebagai proses pemerdekaan.[8]

Konsep tersebut harus diwujudkan dalam praksis pendidikan. Bagaimana caranya agar supaya proses pendidikan diarahkan kepada pemerdekaan peserta-didik yang berarti bertanggung jawab dan kreatif di dalam kehidupannya. Konsep pendidikan yang hanya berada pada tataran teori bukanlah ilmu pendidikan yang benar oleh sebab hanya pada tataran abstrak. Proses pendidikan yang sebenarnya terletak dalam tataran praksis. Selanjutnya dari hasil praksis pendidikan dapat diperoleh masukan untuk pemurnian teori pendidikan yang lebih mantap.

Siklus Perencanaan Kurikulum

Kurikulum sebagai bagian dari proses pendidikan haruslah pula bersifat teoretiko-praktis. Hal ini berarti suatu konsep kurikulum perlu dievaluasi di dalam tataran praktek atau dalam kata lain ujicoba. Dari hasil ujicoba dapat diperoleh masukan-masukan untuk penyempurnaan konsep kurikulum. Evaluasi suatu kurikulum dapat berwujud evaluasi terhadap kurikulum yang sedang berjalan ataupun suatu proses ujicoba terhadap suatu kurikulum yang baru. Dalam siklus perencanaan kurikulum demikian tentunya memerlukan waktu yang cukup lama. Harus kita ingat bahwa proses pendidikan yang berkenaan dengan peserta-didik berbedan dengan proses penyempurnaan kualitas produk industri. Bahan baku pendidikan dan bahan baku suatu industri berbeda. Pendidikan berkenaan dengan subyek yang mempunyai jiwa sedangkan yang kedua tanpa jiwa. Maka proses penyempurnaan atau perubahan suatu kurikulum haruslah dilaksanakan dengan hati-hati karena kita berhadapan dengan subyek yang berjiwa. 

IV. KURIKULUM 2013

Pada tahun 2012 yang lalu dunia pendidikan di Indonesia digegerkan dengan beberapa kebijakan pemerintah dalam pendidikan nasional. Antara lain mengenai pendidikan karakter bangsa yang sampai dewasa ini belum diketahui juntrungannya. Belum selesai dengan pelaksanaan masalah tersebut pemerintah melancarkan konsep Kurikulum 2013. Yang menyebabkan kegalauan dalam masyarakat baik masyarakat umum maupun masyarakat intelektual ialah sangat singkatnya persiapan untuk melaksanakan Kurikulum 2013 tersebut. Dibutuhkan kurang dari setahun dalam persiapannya dan pemerintah bertekad untuk melaksanakan mulai tahun ajaran 2013. Rencana tersebut dirasakan terlalu tergesa-gesa melihat kepada kondisi lapangan pacu di Indonesia yang tersebar di 17000 pulau dengan kualitasnya yang beragam antara lain disebabkan kualitas tenaga gurunya yang belum tuntas dengan program sertifikasi.

Belajar dari Pengalaman

Sejak kemerdekaan Indonesia, kurikulum pendidikan dasar dan menengah telah mengenal sepuluh kali perubahan. Yang terakhir adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dilancarkan sejak tahun 2006. Pengalaman apakah yang dapat kita petik dari perubahan-perubahan kurikulum di negara kita ini? Ternyata pergantian kurikulum yang silih berganti belum dapat menaikkan tingkat kualitas pendidikan di Indonesia. Penelitian-penelitian internasional menunjukkan rendahnya mutu pendidikan nasional kita dibandingkan dengan negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga. Pemeo yang mengatakan bahwa ganti menteri ganti kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum memang benar adanya. Apa yang dikemukakan dalam konsep Kurikulum 2013 antara lain telah diluncurkan melalui Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Mengapa Kurikulum CBSA yang cukup modern tersebut tidak dilanjutkan atau gagal sebelum dilaksanakan? Di sini kita lihat secara konseptual CBSA dapat kita golongkan sebagai kurikulum super bahkan relevan sampai abad 21. Namun nasib yang diderita oleh CBSA ternyata kurikulum super tersebut hanya terbatas diujicobakan di Kabupaten Cianjur. Kemudian tanpa evaluasi diganti oleh kurikulum yang baru lagi. Pengalaman buruk ini mengajarkan kepada kita bahwa untuk perubahan Kurikulum Nasional memerlukan jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatu di dalam pelaksanaannya. Ternyata kurikulum seperti CBSA bukan hanya berkenaan dengan lapangan pacu atau mata pelajaran tetapi lebih-lebih lagi berkaitan dengan metodologi dalam proses pendidikan yang menekankan kepada peserta-didik yang aktif di bawah bimbingan guru yang kreatif.

Kebijakan pemerintah telah mulai dilaksanakan sejak tahun 1998 untuk meningkatkan mutu pendidikan antara lain melalui sertifikasi guru. Namun apa yang terjadi guru memang diakui sebagai kunci dari peningkatan kualitas tetapi dalam pelaksanaannya program sertifikasi yang hanya berjalan selama 7 hari ternyata di dalam penelitian-penelitian tidak serta merta meningkatkan mutu pendidikan nasional.[9] Apakah yang menjadi kekurangan dari program sertifikasi yang telah menghabiskan dana milyaran rupiah tersebut? Ternyata bukan hanya program peningkatan mutu guru yang terlalu singkat sehingga tidak relevan dengan tujuan peningkatan kemampuan profesional guru tetapi juga proses belajar yang hanya menekankan pada menghafal dan bukan kepada membangkitkan kreativitas peserta-didik. Hal ini disebabkan karena kebijakan yang kontroversial pemerintah yaitu tetap melaksanakan Ujian Nasional yang nyata-nyata mematikan kreativitas peserta-didik maupun guru.

Pengalaman Finlandia[10]

Mengapa kita perlu melihat Finlandia? Ada beberapa kritik yang keberatan mengambil Finlandia sebagai contoh. Namun Amerika Serikat sendiri sebagai super-power dunia mengakui kehebatan Finlandia yang berpenduduk sekitar 5,5 juta manusia dalam pendidikan nasionalnya yang telah mengangkat taraf hidup rakyat Finlandia yang luar biasa. Dari mana mereka mulai? Ternyata Finlandia telah mulai merekonstruksi pendidikan nasionalnya sejak 40 tahun yang lalu dimulai dari pendidikan gurunya (LPTK). Mereka tidak mengenal ujian nasional, juga tidak mengenal perubahan kurikulum yang signifikan tetapi yang menjadi pokok pembaharuannya ialah mempersiapkan guru-gurunya yang andal sejak periode pre-service. Hal ini berarti mengubah sistem pendidikan terletak pertama-tama bukan dalam mengubah kurikulumnya tetapi di dalam mengubah prosesnya yang dimiliki oleh para guru (skill) di dalam mengembangkan kreativitas peserta-didik.

Keadaan di Indonesia

Dewasa ini pendidikan di Indonesia sedang mengalami tantangan besar dan mendapat sorotan dunia. Amerika Serikat oleh lembaga American Academy of Sciences di dalam Jurnal Science bulan November 2012 yang lalu memuat artikel mengenai perubahan kurikulum di Indonesia antara lain dalam menyatukan ilmu-ilmu alam dan sosial sejak tingkat sekolah dasar dengan menerapkan prinsip tematik-integratif.[11]Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin mengembangkan minat peserta-didik dalam ilmu-ilmu tersebut sejak dini dengan hanya merupakan bagian dari pengajaran bahasa Indonesia. Selain daripada itu tampaknya pemerintah berdasarkan kekuasaannya tetap akan menerapkan Kurikulum 2013 mulai tahun 2013 ini dengan antara lain mempersiapkan guru-guru pelaksananya dengan menatarnya di dalam tempo 5 hari. Suatu optimisme yang luar biasa yang akan diletakkan di pundak guru untuk melaksanakan suatu konsep yang baru tanpa si pembuat konsep itu sendiri pernah melaksanakannya di dalam praktek. Para guru beserta dengan lembaga-lembaga LTPK tampaknya tidak diikutsertakan secara aktif di dalam pelaksanaan konsep Kurikulum 2013 ini. Hasil dari uji coba yang tanpa dasar yang kokoh pada akhirnya akan terletak di pundak para guru, para profesional pendidikan.

Negara kecil Finlandia dalam penelitian-penelitian internasional seperti TIMMS selalu menempati ranking yang paling atas. Hal ini menarik perhatian negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Apa yang terjadi di Finlandia ternyata bukan perubahan kurikulum yang menjadi pokok tetapi berbagai kebijakan yang bisa kita contoh sebagai berikut: “Forty years ago, Finland was a comparatively poor country with an agrarian economy and under performing education system. Their leaders knew that their economic survival required them to radically transform their entire education system and develop the capacity ot their young people to be innovators and entrepreneurs. Today, Finis students start school one year later, do less home work and have a shorter school and year than student in most dveloped countries, and the country does not administer any test for accountability.[12] Kebijakan pendidikan yang dilaksanakan:
  1. Mereka mengadakan transformasi pendidikan gurunya dengan mengubah program pendidikan guru secara radikal.
  2. Mereka mengubah kurikulumnya berlawanan dengan kurikulum yang menekankan pada fakta dan ujian yang ternyata hanya menambah beban peserta-didik.
  3. Pada tingkat sekolah menengah ditekankan pada pengembangan karya dan pendidikan teknis.
  4. Menekankan pada belajar secara bebas. Peserta-didik diberi kebebasan memilih program studinya nanti di universitas.
  5. Mereka menerapkan inovasi-inovasi dalam mengajar dan pelajaran pada setiap tingkat pendidikan.

Apa yang terjadi dalam perubahan-perubahan kurikulum di Indonesia? Ternyata perubahan-perubahan tersebut hanya mengutak-atik mata pelajaran, jam pelajaran, dan bukan mengenai proses belajar itu sendiri. Proses belajar yang ditekankan adalah:
  1. Kolaborasi
  2. Multidisipliner
  3. Belajar mengambil resiko, trial and error
  4. Kreativitas
  5. Motivasi intrinsik melalui permainan, passion, tujuan yang jelas.

Masalah Perencanaan

Kurikulum 2013 yang mempunyai dampak yang sangat luas dalam sistem pendidikan nasional sudah sewajarnyalah tercantum dalam RENSTRA DIKNAS 2009-2014 apalagi RENSTRA DIKNAS tersebut merupakan penjabaran dari Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2009-2014. Namun demikian Kurikulum 2013 tidak secuilpun dikemukakan dalam RENSTRA DIKNAS 2009-2014. Apabila Kurikulum 2013 tersebut toh dipaksakan tentunya rencana tersebut akan mengambil dana dari program-program lainnya yang telah disepakati sebagai program-program prioritas di dalam pembangunan nasional 2009-2014. Pemerintah berdalih bahwa konsep Kurikulum 2013 telah mulai muncul pada tahun 2010. Namun demikian karena perubahan kurikulum bukan hanya mempunyai pengaruh yang luas pada masyarakat sehingga meminta dana yang cukup besar di dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Oleh sebab itu sewajarnyalah apabila konsep Kurikulum 2013 lebih dimatangkan dan diujicobakan terbatas pada beberapa sekolah/daerah tertentu agar dapat direncana-kan pelaksanaannya secara matang dan terarah.

KESIMPULAN DAN SARAN
  1. Belajar dari pengalaman Finlandia, reformasi pendidikan dimulai dari revitalisasi LPTK.
  2. Perubahan kurikulum dalam siklus ilmu pendidikan kritis.
  3. Implementasi Kurikulum 2013 diujicobakan dan dievaluasi ter-lebih dahulu.
  4. Sukses Kurikulum 2013 terletak pada kemampuan guru dan proses pembelajaran kreatif.
  5. Kurikulum 2013 bukan semata-mata untuk menambah atau mengurangi mata pelajaran ataupun mengurangi maupun me-nambah jam pelajaran akan tetapi yang lebih penting perubahan di dalam proses pendidikan itu sendiri yang menekankan pada kreativitas peserta-didik dan pendidik sehingga melahirkan proses belajar yang aktif-kreatif.

[1] Lihat Anwar Jasin, Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar, 1987. Lihat juga M. Vastenhouw, eksperimen di Bandung, Projectonderwijs, 1950.

[2] KOMPAS, 12 Oktober 2012, “Mengubah Kurikulum; Substansi atau Proses?”

[3] Daron Acemoglu & James A. Robinson, Why Nations Fail. The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, 2012.

[4] Lihat H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, 2010.

[5] H.A.R. Tilaar, Pembangunan Kreativitas dan Entrepreneurship etc. 2012. Lihat juga Tony Wagner,Creating Innovation, 2012.

[6] Paulo Freire, Education for Critical Consciousness, 2003.

[7] Lihat: M. Pinar, Why Curriculum Theory? (2004)

[8] Paulo Freire, Education for Critical Consciousness (2003).

[9] Lihat penelitian Tri Suratmi, Pengaruh Sertifikasi dan Etos Kerja terhadap Prestasi Dosen Perguruan Tinggi Swasta, disertasi 2013 UNJ (tidak diterbitkan)

[10] Tony Wagner, Creating Innovators, hlm. 199-201.

[11] Mengenai prinsip tematik-integratif, lihat eksperimen di Bandung tahun 1946, M. Vastenhouw,Projectonderwijs, 1950.

[12] Tony Wagner, op cit, hlm. 199.

bincangedukasi.com
Post ADS 1
Banner
Banner