Menunggu Imam
Kelaparan sepertinya menjadi masalah besar bagi mayoritas dua ratus tiga puluh juta penduduk Indonesia. Dan aku adalah satu dari sekian ratus juta itu. Ususku melilit seperti ular di musim dingin, seperti udang yang sudah menjadi ebi, bahkan seperti benang jahit yang sudah ruwet. Hari ini kelilingku hampir sia-sia. Tak banyak barang berharga yang kutemukan.
Anakku menangis kelaparan. Ini semua gara-gara bulan puasa sialan itu! Tak ada sisa makanan di warung Padang Uda Salma. Di Warteg Sami Warasnya bu Darto pun juga tak ada. Tak banyak yang bisa kulakukan. Hanya mendengarkan tangisan merdu anakku, dan irama berdendang ocehan kosong istriku. Sepertinya, kemiskinan selalu bersahabat akrab dalam kehidupanku.
Aku hanya bisa menghisap puntung rokok yang kutemukan di prapatan tadi, lumayan masih panjang. Masih sekitar dua belas hisapan. Semakin keras saja tangisan anak itu. Aku kesal! Mending, aku keliling lagi dengan grobak lusuh kesayanganku. Grobak yang bertahun-tahun menemani kesusahanku tanpa protes sedikitpun. Paling kalau ngambek, cuma bannya kempes, atau hanya bautnya hilang.
Jalanan sialan! Presiden sudah gonta-ganti, undang-undang direvisi DPR terus-terusan, tapi memperbaiki jalan saja tak becus. Persetan dengan mereka semua! Awas kalian, kulaporkan sama Tuhan diakhirat nanti. Ha..haa… mana mau Tuhan mendengarkan suara pemulung. Tidak, Tuhan pasti mendengar, dan akan menyiksa mereka. Yang makan uang rakyat nanti suruh makan granat nanas berkomposisi nanah, dan kerikil neraka. Yang tukang janji nol bukti, suruh minum wedang pahit lelehan besi baja. Modar kowe!.
Aku bimbang. Entah kemana jurusan jalanku. Sekarang semua masyarakat sudah menghakimiku. PEMULUNG DILARANG MASUK. Katanya Negara ini, Negara demokrasi. Negara yang menjunjung tinggi HAK ASASI MANUSIA. PREEET! Aku benci semua yang ada di Negara ini. Yang kucinta hanya Sarah, anak semata wayangku, dan Sarni, wanita satu-satunya yang memenangi kejuaraan perebutan hatiku.
Entah ini hari keberapa puasa. Tak ada bedanya. Aku masih tetap teratur makan, sehari makan, sehari nganggur. seharusnya, puasa tak berhak memanggil orang miskin macam aku. Yaa, karena aku tak mampu memberikan menu buka dan makan sahur kepada anak dan istriku. Bisa makan sehari saja, sudah meredam ledakan tangisan Sarah.
Aku melangkah terus. Entah sudah berapa kilometer grobakku menempuh perjalanan. Mana aku tahu, memang grobak ini ada speedometer-nya. Didepan kulihat orang banyak mengerumuni sebuah rumah. Orang-orang mengatakan. Itu Masjid. Tempat orang bersembahyang beribadah. Kulihat lautan manusia, yang tak jauh berbeda penampilannya denganku, mengerumuni masjid besar itu. Seperti lalat yang membusuki kotoran. Yaa, kami memang orang yang selalu dipandang sebelah mata, bahkan tanpa mata sekalipun oleh masyarakat.
Ternyata Parmo, teman satu profesiku, juga ada disana. Kutanyakan dia. kayanya, ada orang kaya yang membagikan zakat beras lima kilo secara cuma-cuma. Hanya dengan bermodal desak-desakan, dan melawan sesak napas sebentar. Namun, tak mungkin kumelakukan. Tempat ini sudah melebihi kapasitasnya, tapi aku teringat tangisan Sarah. Wajah dengan lukisan kelaparannya pun menari-nari dikerumuman itu.
Aku harus bisa mendapatkan zakat itu. Kami memang seorang mustaqik yang lehernya semakin tercekik dengan kebutuhan yang semakin meroket meninggalkan kami. Jadi, suatu hal yang lumrah jika kami saling berebut, saling mendorong, saling menendang, bahkan yang sudah lemas, kami injak-injak tanpa ampun. Inilah potret kami.
Aku pun melakukan hal yang harus aku lakukan. Berusaha menerobos laut ratusan pemulung dan pengemis. Terbayang senyum dan tawa Sarah jika nanti aku pulang dengan kabar gembira dan sekantung beras ini. Dia akan memelukku, erat. Erat sekali. Seakan rasa cintanya dia tumpahkan semua di sekujur tubuhku. Dia akan mengucapkan “terima kasih, Bapak!” dengan nada lucunya. Tak terasa lelehan air mataku bocor. Sarah, hentikan tangisanmu!!
*******
Disekitar tubuhku terasa hangat, mungkin ini pelukan kegembiraan Sarah. Sepertinya bukan. Bau amis darah merah terdeteksi jelas di indra hidungku. Kulihat orang semacam aku dibaringkan secara massal. Yaa seperti bangkai ayam yang siap dikubur, memang harga diri kami tak jauh beda dengan bangkai ayam. Rendah, sangat Rendah! para aparat keamanan membawaku ke tempat ini. Tempat orang pingsan, dan tewas sia-sia. Aku dilemparkannya tanpa ampun dengan sekuat tenaga, seakan mematahkan beberapa tulang rusukku di bagian belakang. NYAWA KAMI HANYA SEHARGA BERAS LIMA KILOGRAM! Dalam ketidakberdayaanku, aku masih menunggu Tuhan memberikan imam Negara yang mau memperhatikan keadaan kami, yang peduli dengan Sarah dan anak tak berdosa lainnya. Senyum Sarah masing terekam jelas di isi kepalaku. Maafkan bapak, Sarah!
Mengenang pembagian zakat maut yang menewaskan fakir-miskin secara sia-sia.
Wonogiri, 30 Ramadhan 1431 H