Teori Tentang Motivasi, Strategi Karir, dan Kebahagiaan


Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim 
"If you take the time to figure out your purpose in life, I promise that you will look back on it as the most important thing you will have ever learned." - Clayton Christensen
Setelah mengikuti acara G8 & G20 Youth Summits tahun lalu, saya naik bus dari Washington, D.C. ke New York karena penerbangan pulang saya dari bandara John F. Kennedy. Duduk disamping saya adalah seorang Asian American bernama Richard Lou yang mau pulang ke rumahnya di New York setelah magang musim panas di D.C. Saat itu Lou berstatus sebagai mahasiswa di Harvard Business School (HBS). Kebetulan saya senang membaca Harvard Business Review (HBR) dan ada salah satu artikel yang sangat bagus berjudul “How will you measure your life” karangan Clayton Christensen, seorang professor di HBS.

Saya bertanya Lou seputar bagaimana kesan Christensen dimatanya. Ternyata Lou juga sangat menyukai artikel tulisan professornya tersebut dan menurutnya Christensen adalah seorang professor yang sangat bijaksana, inspiratif, dan dihormati oleh mahasiswa-mahasiswanya. Lou menyarankan agar saya juga membaca bukunya yang berjudul sama. Pada waktu itu memang saya belum tahu kalau Christensen menjabarkan artikelnya di HBR ke dalam sebuah buku. Akhirnya saya pun mencari, mendapatkan, dan membaca buku tersebut. Di dalam tulisan ini saya ingin berbagi hikmah yang ada dalam buku (dan juga artikel) tersebut. Artikel dan buku tersebut memberikan pandangan baru bagi saya tentang bagaimana sebaiknya memandang kehidupan dan apa prioritas terpenting dalam hidup ini.

Christensen adalah lulusan HBS, sekolah bisnis tertua di dunia dan memiliki reputasi yang sangat mengagumkan. Alumni-alumninya bekerja dan memimpin institusi-institusi bergengsi seperti McKinsey & Company, Goldman Sachs, dan perusahaan-perusahaan Fortune 500. Setiap lima tahun, HBS mengadakan reuni para alumninya. Pada tahun 1984, lima tahun setelah Christensen lulus, diadakan reuni alumni yang pertama. Pada reuni pertama ini, teman-teman satu angkatannya di HBS terlihat sangat bahagia, bekerja di tempat-tempat mapan, sejahtera, dan bersyukur dengan kehidupan keluarga mereka. Mereka saling berbagi cerita tentang suka-cita lima tahun petualangan yang fantastis setelah lulus dari HBS.

Empat puluh lima tahun setelahnya, pada reuni yang kesepuluh, terjadi perubahan drastis tentang apa yang dilihat oleh Christensen dari teman-teman angkatannya tersebut. Beberapa teman yang ingin ditemui oleh Christensen tidak datang dan ia tidak tahu mengapa ia tidak datang. Beberapa temannya memang memiliki karir yang sangat sukses, namun mereka terlihat gelisah dan tidak bahagia. Beberapa cerai, beberapa tidak bahagia dengan pernikahannya, beberapa tidak akur dengan anak-anaknya, dan ada juga temannya yang masuk penjara karena skandal bisnis yang dilakukan. Padahal menurut Christensen, teman-teman angkatannya ini dulunya adalah teman yang sangat baik, sopan, cerdas punya visi dan rencana yang mulia. Namun ternyata, mereka sulit mendapatkan kebahagiaan, merasa kecewa, tidak menikmati karir top professional mereka, mengkompromikan integritas, dsb.

Berangkat dari pengalaman ini, Christensen membuat teori tentang bagaimana manusia sebaiknya mengukur kehidupan mereka di dunia. Dalam mengkontruksi teori tersebut, Christensen dipandu dengan tiga pertanyaan “Bagaimana saya yakin bahwa: a) Saya bisa sukses dan bahagia?; b) Hubungan saya dengan pasangan, anak-anak, keluarga, dan teman-teman menjadi sumber kebahagiaan yang berkelanjutan?; dan c) Hidup dengan penuh integritas?” Saya yakin teori dari Christensen ini sangat relevan bagi kehidupan kita, terutama bagi teman-teman yang sedang mengalami quarter-life crisis seperti yang baru saya alami.

Kebahagiaan sangat erat kaitannya dengan motivasi. Motivasi yang benar dalam karir akan membantu menentukan prioritas-prioritas yang akhirnya bisa membuat kita bahagia. Teori motivasi yang dielaborasi oleh Christensen di dalam bukunya mengatakan bahwa uang bukanlah sumber dari ketidakbahagiaan professional. Teman-temannya yang sukses dalam karir professional di atas namun merasa tidak bahagia adalah karena mereka menjadikan uang tersebut sebagai prioritas tertinggi di atas segala-galanya—di atas keluarga, pertemanan, kesehatan, aspek spititual, integritas dsb. Dengan demikian, uang memang bisa dijadikan sebagai sebuah motivasi, namun seharusnya tidak dijadikan prioritas tertinggi. Orientasi terlalu ketat akan hasil materiil ini biasanya yang membuat orang frustasi dan akhirnya tidak bahagia.

Christensen ketika anak-anaknya masih kecil, membuatkan kemah-kemahan di pekarangan belakang rumahnya. Ia bersama anak-anaknya bersama-sama mencari kayu, membuat desain, memotong papan, memaku kerangka kemah dsb. Pada masa-masa pembangunan, setiap ada teman anak-anaknya main, pasti mereka selalu diajak untuk ke belakang rumah melihat perkembangan pembangunan. Dan ketika Christensen pulang, hal pertama yang pasti ditanya anak-anaknya adalah kapan pembangunan perkemahan akan dilanjutkan kembali. Butuh beberapa minggu untuk menyelesaikan pembangunan itu. Tetapi setelah akhirnya perkemahan itu jadi, anak-anaknya biasa saja melihatnya, tidak sebahagia pada saat proses pembangunan, dan mereka tidak terlalu suka main rumah-rumahan di dalamnya. Pengalaman tersebut membantu Christensen menyimpulkan: “I had thought the destination was what was important, but it turned out it was the journey.” Kesimpulan ini menguatkan teori motivasi sebelumnya, bahwa kebahagiaan terletak pada penikmatan perjalanan, dan bukan pada hasil itu sendiri.

Untuk membantu kita memiliki motivasi yang benar dalam karir, Christensen memiliki beberapa daftar pertanyaan reflektif. Apakah pekerjaan ini berarti bagi saya? Apakah pekerjaan ini memberikan saya kesempatan untuk berkembang? Apakah saya akan belajar hal baru disini? Apakah saya akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengakuan dan prestasi? Apakah saya akan diberi tanggung jawab yang lebih besar? Motivasi akan pekerjaan yang bermakna, memberi kesempatan mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru, dan mengamanahkan tanggung jawab yang lebih besar bagi kita adalah motivasi yang benar karena fokusnya ada pada proses kita bekerja.

Tetapi motivasi yang benar tidak serta merta bisa membuat kita bahagia. Di dalam perjalanan karir, garis tidak linier. Banyak kejutan-kejutan yang bisa terjadi yang tidak kita antisipasi sebelumnya. Misalnya perusahaan bangkrut sehingga kita menjadi pengangguran, gagal dalam meraih cita-cita, sudah lama bekerja tetapi tidak segera dipromosikan karena bos yang menjengkelkan. Christensen mengamati bahwa mahasiswa-mahasiswanya yang high achievers dan aspiring high-achievers biasanya terlalu rigid merencanakan kehidupan mereka. Merencanakan meraih satu prestasi, kemudian prestasi selanjutnya. Memulai karir di suatu perusahaan sebagai batu loncatan untuk menggapai impian yang lainnya untuk kemudian meraih impian yang lebih tinggi. Mereka sejak SMA belajar bahwa untuk bisa sukses dalam hidup, mereka harus memiliki visi yang konkret sedini mungkin.

Tetapi menurut Christensen, kerigidan rencana tersebut hanya relevan dalam beberapa konteks tertentu saja. Pada kenyataannya, kita hidup seperti menahkodai kapal yang mengarungi samudra yang luas. Kita akan menghadapi terjangan badai, gunung es, dan blok karang yang dangkal sehingga agar survive kita harus menyesuaikan navigasi kita sesuai dengan keadaan yang terjadi. Untuk mencapai titik tujuan B dari A, kapal kita tidak bisa berjalan lurus atau linier yang menurut kita paling efisien. Kita harus menyesuaikan strategi yang pernah kita buat dengan alternatif-alternatif lain yang muncul.

Sejak muda Christensen bercita-cita untuk bekerja di Wall Street Journal (WSJ). Berkali-kali dia mencoba untuk mendaftarkan, namun berkali-kali dia ditolak. Karirnya sebagai professor di HBS bermula ketika ia mengambil penawaran untuk mengajar di HBS pada saat-saat dia putus asa karena ditolak bekerja di WSJ. Pada akhirnya, berkarir di tempat yang tidak sesuai cita-citanya dulupun Christensen akhirnya mendapatkan kebahagiaan dan prestasi cemerlang. Kita harus cerdas menjaga fleksibilitas rencana-rencana kita agar kita bisa memanfaatkan kesempatan alternatif yang lewat di depan kita ketika rencana-rencana kita tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kita harus mampu menyeimbangkan antara deliberate strategy dengan emergent strategy.

Teori motivasi dan penyeimbangan antara deliberate-emergent strategy di atas adalah hikmah yang saya dapatkan ketika membaca bagian pertama dari buku “How will you measure your life” tentang menemukan kebahagiaan dalam karir. Terlalu sulit bagi saya untuk menyarikan dua bagian selanjutnya dalam artikel pendek ini, keduanya sangat kaya pelajaran dan ilmu baru yang penting. Dua bagian selanjutnya itu berbicara tentang bagaimana menemukan kebahagiaan dalam hubungan keluarga dan pertemanan, dan tentang integritas. InsyaAllah, saya akan tulis di kesempatan mendatang. Namun sementara, saya berharap semoga hikmah-hikmah di atas dapat bermanfaat bagi kita untuk memiliki karir yang bermakna dan membahagiakan.



#FutureShaper adalah program dari Forum for Indonesia yang merupakan edisi tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan manajemen. Edisi ini ditulis untuk menjadi salah satu bahan inspirasi dan diskusi bagi teman-teman yang ingin mengawali petualangan menjadi pemimpin di lingkungan kita masing-masing.

@FutureShaperID | @forumforID | @GhufronMustaqim


Post ADS 1
Banner
Banner