Memberi Nasehat Kepada Penguasa
“Saya pastikan bahwa apa yang saya lakukan adalah tetap dalam koridor gerakan moral dan intelektual.”
“Tidak semurah itu idealisme kami dijual hanya dengan jamuan makan malam.”
Putusan sudah dibuat oleh anak-anak muda itu untuk bermeja bersama penguasa. Seorang di antara mereka bahkan sudah menjernihkan pendiriannya. Sebuah sikap tidak populis tapi berhak ditenggang perbedaannya. Hanya, patut diduga, mereka yang berujar macam di atas, patut diduga tidak atau belum membaca karya Imam al-Ghazali terkait adab meluruskan penguasa. (Inilah pentingnya ber-ILMU sebelum ber-AKSI).
Mengkritisi penguasa memang utama langsung empat mata. Bicara langsung bila ada kesempatan. Namun, untuk lakukan ini butuh bekal ilmu, keberanian, istiqamah, qanaah, dan menjaga marwah. Beradab pula bilamana dalam persuaan ‘advokasi’ itu sang pengkritik penguasa tetap dalam posisi menyejajarkan diri. Tidak perlu gempita dengan tawaran makan malam, cuku sekadar mencicipi buah segar. Tidak ada semringah berfoto bersama, karena ini soal marwah. Karena toh yang utamanya adalah menyampaikan kritik dan saran.
Yang terjadi di awal Syaban lalu, segerombolan pemilik napas muda yang kikuk dan menahan cemas dalam pilihan bersanding dengan penguasa. Lihatlah elok takut wajah mayoritas mereka. Nurani mereka bergemuruh memikirkan akibat usai berfoto bersama. Sisanya, kaum muda yang tersimpul ria bergaya, siap diseret pusara zaman.