Dakwahnya Menghentak Ruang Direksi

Meski jantungnya pernah dioperasi 11 kali, tapi itu tak menyurutkan dakwahnya. Pernah dipecat dari perusahaan besar karena aktivitas dakwahnya. Baginya keluarga adalah prioritas pembinaan.

Perawakannya tinggi dan kurus. Tepat di bawah dadanya sebelah kiri mengular bekas sayatan yang masih jelas terlihat. Sayatan itu bekas operasi jantung yang kerap kali dilakoni pria ini sejak kelas 3 SD. Operasi terakhir dilakukan pada 1997 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta.

Gangguan jantung kronis yang dialami pria bernama lengkap Ahmad Susanto ini tak pernah dinyatakan benar-benar pulih oleh dokter. Tapi kendati dalam kondisi sakit, kegiatan dakwahnya yang dilakoni sejak menjadi Muslim itu tak pernah surut.

Tantang Direksi

Masa kecil Santo, begitu ia biasa disapa, adalah seorang Nasrani. Itulah sebabnya sejak kecil ia tidak pernah membayangkan menjadi dai. Ia mulai mempelajari Islam ketika berumur 22 tahun. Barulah setelah masuk Islam, ia menambahkan nama Ahmad di depan nama aslinya.

Santo dikenal sebagai motor penggerak dakwah di perusahaan besar PT Gelatindo Mukti Graha milik Bimantara yang kala itu mayoritas direksinya non-Muslim. Kegiatan dakwah di kantor ini sangat dibatasi. Namun, Santo melakukan gebrakan yang terbilang nekat.

Santo menggelar acara taklim bagi karyawan Muslim dan mengadakan shalat Jumat. Itu berlangsung pada 1984, saat ia masih bekerja di sana. Rupanya dakwah yang digalakkan Santo ini membuat petinggi perusahaan mulai tidak nyaman. Perihalnya, mulai ada karyawan yang berjilbab. Akhirnya, entah karena kiprahnya yang dikhawatirkan itu, suatu hari di awal tahun 1990 ia dipanggil ke ruang direksi.

Di dalam ruangan, tanpa basa-basi lagi ia langsung disodori surat pengunduran diri tanpa paksaan. Tapi Santo tak mau menandatangani surat itu, ia malah menyobeknya.

“Silakan saya dipecat, tapi caranya tidak seperti ini,” katanya. Santo pun tak jadi dipecat dan hanya dimutasi kerja ke kantor lain. Akhirnya ia keluar sendiri pada tahun 1996.

Dai Peduli Bencana

Saat Aceh diterjang tsunami pada akhir Desember 2004, Santo termasuk relawan yang langsung terjun ke Tanah Rencong bersama beberapa rombongan relawan lainnya.

Menurut Santo, ada pengalaman yang tak terlupakan ketika terjun ke Meulaboh. Suatu kali ketika selesai memberikan tausiah di Masjid Al-Hidayah, Tanah Lapang, Meulaboh, salah satu pendengarnya datang menghadapnya. Ia mengaku jika tidak mendengar ceramah Santo mungkin saja dirinya sudah mengakhiri hidupnya. “Tidak ada gunanya lagi saya hidup karena keluarga saya sudah meninggal semua,” kata Santo menirukan ucapan jamaah itu. Santo jadi terharu. Akhirnya, ia jadi penceramah tetap di sana selama sebulan.

Bukan hanya di Aceh. Ketika Yogyakarta digoyang gempa pada 2006, Santo pun kembali terjun. Bersama lima orang lainnya, ia menumpang di truk yang akan membawa sembako ke kota itu. Namun di sana ia hanya bisa bertahan seminggu, karena tidak membawa persedian yang cukup.

Pengalaman lainnya yang mengesankan bagi Santo, adalah ketika menjadi relawan di Padang, Sumatera Utara pada 2009. Ia berangkat ke Padang tanpa meninggalkan sepeser pun dana untuk keluarganya. Sebulan di Padang, ia pun kembali ke Jakarta.

Ketika hendak pulang tiba-tiba ia diselipi uang senilai Rp 2 juta oleh seorang tokoh warga setempat untuk dipakai ongkos. Tapi Santo menolak, alasannya karena ongkos ke Jakarta sudah ada. Ia minta uang itu diberikan kepada pengungsi. Padahal selama sebulan di Padang, keluarganya menangguk hutang Rp 2 juta. Alhamdulillah, atas bantuan seorang dermawan hutang itu lunas, bahkan ia ditawari haji oleh seorang dermawan.

Kesibukan dakwah Santo semakin padat ketika ia memimpin organisasi Majelis Silaturrahmi Pekerja Muslim Indonesia (Masjami) periode 1996-1999 berkantor di Komplek Timah, Depok, Jawa Barat.

Sebagai ketua, ia rutin mengisi pengajian di pabrik-pabrik di Jakarta. Uniknya, setiap pengajian Santo selalu membawa kue sendiri untuk jamaahnya. “Mereka buruh pabrik yang harus bekerja seperti mesin, sementara gaji tak memadai,” terang pria kelahiran Jakarta, 7 Mei 1962 ini.

Ada pengalaman menarik. Secara rutin, kata Santo, ia mengisi pengajian di pabrik komplek Balaraja, Tangerang setiap pukul 8 malam. Nah, suatu saat ia datang tanpa ongkos, maka ketika akan pulang, ia pun pusing karena duit sudah habis.

Melalui Masjami, Santo juga menggelar pengajian untuk para pedagang ikan di Pasar Citeureup, Bogor. Selain itu, di Jabotabek, ia membina 18 kelompok pengajian secara rutin. Ia juga kerap diundang mengisi ceramah di luar kota.

Keluarga adalah Prioritas

Kegiatan dakwah yang dilakukan Santo lebih banyak pada waktu pagi hingga sore, sehingga malam hari ia gunakan berkumpul dengan keluarga. Ayah dari delapan anak ini adalah pengggemar buku, itulah kesibukannya selain dakwah. Kini, ia sedang menulis buku kelimanya. Empat bukunya yang sudah terbit bertemakan tazkiatun nafs (penyucian jiwa).

Meski sibuk berdakwah, bagi Santo prioritas utama pembinaan tetaplah keluarga (istri dan anak-anaknya). Hal paling sering disampaikan kepada keluarga adalah bagaimana menghadapi masalah dalam hidup, sebab hidup itu seperti roda.

“Selalu saya sampaikan bahwa masalah akan selalu ada dan jalan keluarnya hanya bisa didapatkan hanya dengan melibatkan Allah,” pesan suami dari Nuri Syamsiah ini.

Kepada keluarganya ia selalu mengingatkan bahwa hidup adalah ujian dan tidak ada ujian yang ringan. “Kalau kita diuji dengan hal yang ringan itu berarti bukan ujian,” katanya.

Selain itu, Santo selalu berpesan bahwa hidup adalah pilihan. Manusia hanya punya dua pilihan, yakni beriman atau kufur. “Manusia harus memilih. Sebab, manusia sejatinya adalah tamu di dunia ini,” ujarnya.

Menurut Santo, ciri-ciri tamu itu hanya ada tiga, yaitu tidak pernah lama, menerima dengan baik yang disuguhkan tuan rumah, dan tamu tidak bisa mengatur tuan rumah. “Dan, Allah-lah tuan rumah di dunia ini dan Dia-lah yang punya aturan. Bukan aturan yang lain,” katanya menegaskan

Santo adalah sosok ayah yang bijaksana dan penyabar. Setidaknya itulah yang dirasakan anak-anaknya. “Beliau luar biasa. Bapak bisa menjadi teman curhat untuk anak-anaknya, bisa menjadi kakak yang asyik. Pokoknya sosok bapak tak tergantikan-lah,” aku Fahmi Isa Abdullah, anak ketiga yang kini kuliah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jurusan Sastra Arab ini. Kini, selain sibuk membina keluarga, melakukan dakwah, Santo juga rutin melayani konsultasi parenting. Sudah banyak kasus pertikaian suami-istri dan keluarga yang berhasil ia damaikan dan kembali menyatu. Ia juga aktif sebagai Ketua Bidang Dakwah Al-Irsyad, anggota Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan anggota Tim Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA) Kota Depok. Sejumlah orang telah berhasil ia Islamkan. Salah satunya adalah bosnya yang dulu hampir memecatnya. Alhamdulillah.* Ainuddin Chalik/
Dukung dakwah para dai nusantara melalui rekening donasi Bank Syariah Mandiri 7333-0333-07 a/n:Pos Dai Hidayatullah, BNI, no rek: 0254-5369-72 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta, Bank Muamalat no rek: 0002-5176-07 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta. Ikuti juga program dan kiprah dakwah dai lainnya serta laporan di portal www.posdai.com
sumber : www.posdai.com
Post ADS 1
Banner
Banner